(( Memperbaiki Diri Dengan Al-Qur'an dan As-Sunah ))

MENYAYANGI BINATANG

اَفَلاَتَتَّقِ اﷲَ فِى هٰذِهِ اْلتَيْتَتِ الَّتِيْ مَلَّكَكَ اﷲُ اِيَّاهَا فَاِكَنَنَّهُ شَكَا ُّاِلَىَّ اَنَّكَ تُحِيْعُهُ وَتُدْءِبُهُ


 “Apakah engkau tidak takut kepada Allah mengenai binatang ini, yang telah diberikan kepadamu oleh Allah? Dia telah melapor kepadaku bahwa engkau telah membiarkannya lapar dan membebaninya dengan pekerjaan-pekerjaan yang berat.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1/400), Imam Hakim (2/99-100), Imam Ahmad (1/204-205), Abu Ya’la di dalam Musnad-nya (1/318), Al-Baihaqi di dalam Dala’ilan-Nubuwwah (juz 2, bab “Menyebutkan Tiga Mu’jizat Rasul”), Ibnu Asakir di dalam Tarikh-nya (juz 9/28/1), dan Adh-Dhiya’ di dalam Al-Hadits Al-Mukhtarah (124-125) dari jalur Muhammad bin Abdullah bin Abi Ya’qub dari Al-Hasan bin Sa’ad, seorang budak yang dimerdekakan oleh Al-Hasan bin Ali, dari Abdullah bin Ja’far yang meriwayatkan:


“Suatu hari Nabi shollahu alaihi wassalam memboncengkan saya. Kemudian beliau bercerita kepada saya cerita rahasia, dan saya tidak boleh menceritakannya kepada seorang pun, yaitu bahwa yang biasa dipergunakan oleh Nabi untuk berlindung ketika melaksanakan hajatnya adalah perbukitan atau pepohonan kurma yang terbentang. (Suatu saat) Nabi e memasuki sebuah kebun milik salah seorang sahabat Anshar. Tiba-tiba beliau melihat seekor onta. (Ketika beliau melihatnya, maka beliau mendatanginya dan mengelus bagian pusat sampai punuknya serta kedua tulang belakang telinganya. Kemudian onta itu tenang kembali). Beliau berseru: “Siapa pemilik onta ini?! Milik siapa ini?!” Kemudian datanglah seorang pemuda dari golongan Anshar, lalu berkata: “Wahai Rasul, onta itu milik saya.” Lalu beliau bersabda: (Lalu perawi menyebutkan hadits di atas).”



Sedangkan Imam Abu Dawud berkomentar: “Hadits itu shahih sanadnya.” Pendapat ini disetujui oleh Adz-Dzahabi, bahkan mereka berdua menilainya shahih sesuai dengan syarat yang ditetapkan Muslim. Sedang Imam Muslim sendiri juga menyampaikannya di dalam kitab shahihnya (1/184-185) dengan sanad yang sama namun tanpa menyebutkan kisah onta itu. Adapun dalam Riyadush-shalihin (hal. 378), Imam Nawawi mengatakan bahwa Al-Burqani meriwayatkan sesuai dengan sanad Imam Muslim secara sempurna. Mungkin karena hal inilah, Ibnu Asakir mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Maksudnya adalah matan asalnya, bukan matan lengkapnya.”


 Adapun tambahan yang ada pada hadits di atas (yang ada di dalam kurung) adalah dari Ibnu Asakir dan Adh-Dhiya’:


    اِرْكَبُوْاهٰذِهِ الدَّوَابَّ سَالِمَةً , وَاَيتَدْعُوْهَا سَالِمَةً , وَرَتَتَّخِذُوْ هَاكَرَسِىَ


“Naikilah binatang-binatang tunggangan ini dalam keadaan selamat, dan lepaskanlah mereka dalam keadaan selamat pula. Janganlah kalian jadikan mereka sebagai kursi.”


 Hadits ini disampaikan oleh Imam Hakim (1/444, 2/100), Al-Baihaqi (5/225), Imam Ahmad (3/446, 4/234), dan Imam Ibnu Asakir (3/91/1), dai Laits bin Said dari Yazid bin Hubaib dari Sahal bin Mu’adz bin Anas dari ayahnya secara marfu’. Dalam hal ini Imam Hakim mengatakan: “Hadits ini shahih sanadnya.”


 Pendapat ini disetujui oleh Adz-Dzahabi, dan apa yang dikatakan oleh mereka ini memang benar, sebab semua perawinya adalah tsiqah. Sahal bin Mu’adz adalah orang yang diberi penilaian laba’sa bihi (tidak perlu dikhawatirkan) kecuali yang diriwayatkan oleh Zaban darinya. Sedangkan hadits ini tidak termasuk dalam hadits yang diriwayatkan oleh Zaban.


 Sementara itu Imam Ahmad (3/439, 340) meriwayatkannya dari jalur Ibnu Luhi’ah dari Zaban dari Sahal, secara marfu’. Imamن Ahmad memberi tambahan:


 فَرُبَّ مَرْكُوْبَةٍٍ خَيْرٌ مِنْ رَاكِبَهَا ¸ وَاَكْثَرُ ذِكْرُ اﷲِ مِنْهُ


 “Banyak binatang tunggangan lebih baik dari pemiliknya dan lebih banyak dzikirnya.”


 Tambahan ini dha’if, sebab seperti anda lihat riwayat itu berasal dari Zaban dari Sahal. Apalagi di dalamnya ada Ibnu Luha’ah yang juga dha’if. Anda jangan terkecoh dengan perkataan Al-Haitsami (8/107) dalam menyebutkan hadits tersebut dengan tambahan seperti di atas.


Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ath-Thabrani serta salah seorang dari sanad Imam Ahmad. Perawi-perawi nya tsiqah, kecuali Sahal bin Mu’adz bin Anas, yang dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban, padahal ia mempunyai sifat dha’if.


 Sanad yang sesuai dengan pembahasan ini adalah riwayat pertama yang tidak mempunyai tambahan. Hal ini perlu adanya pemahaman mendalam.


 اِيَّاكُمْ اَنْ تَتَّخِذُوْا ظُهُوْرَدَوَابِّكُمْ مَنَابِرَ , فَاِنَّ اﷲَ تَحَالىٰ اِنَّمَا سَخَّرَ هَالَكُمْ لِتُبَلِّغُكُمْ اِلىٰ بَلَدٍ لَمْ تَكُوْنُوْابَا لِغِيْهِ اِلاَّ بِشِقِّ اْلاَ نْفُسِ , وَجَعَلَ لَكُمُ اْلاَرْضَ فعَلَيْهَا فَاقْضُوْا حَاجَاتِكُمْ


 “Hindarilah menjadikan punggung-punggung binatang piaraanmu sebagai mimbar. Sebab Allah SWT menaklukkannya bagi kalian adalah agar kalian dapat mencapai daerah yang sulit dicapai kecuali dengan memayahkan diri. Dan Dia telah menciptakan bumi untuk kalian, maka penuhilah kebutuhan kalian di atasnya.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (nomor: 2561), Al-Baihaqi dari Abu Dawud (5/255), dan Abul Qasim di dalam majlis ke seratus dua puluh delapan dari kitab Al-amali, serta Ibnu Asakir (19/85/1) dari dua jalur, yakni Yahya bin Abi Amer As-Syaibani (dengan memakai syin).


 Mengenai Abu Maryam Al-‘Ijly dalam kitabnya At-Tsiqat (Tartibus-Subuki, hal. 94) berkata: “Abu Maryam adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh Abu Hurairah. Dia adalah seorang tabi’ yang berkebangsaan Syam. Ia (Abu Maryam) adalah seorang tsiqah. Sementara itu Ibnul Qathan di dalam Faidhul Qadir memberikan penilaian tersendiri dengan mengatakan:


 “Hadits semcam ini tidak shahih karena di dalamnya terdapat Abu Maryam, seorang budak yang dimerdekakan oleh Abu Hurairah. Ia tidak diketauhi statusnya. Ada pula yang mengatakan nama satu orang. Namun demikian, nama itu tetap tidak diketahui statusnya. Oleh karenaya hadits tersebut tetap tidak bisa dikatakan shahih.”


 Akan tetapi pendapat Ibnul Qathan di atas ternyata kurang bisa diterima, sebab Al-‘Ijli dengan tegas menilainya (Abu Maryam) tsiqah. Di samping itu banyak perawi yang menghambil hadits darinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam At-Tahdzib. Imam Ahmad juga berkata: “Saya melihat bahwa para ahli hadits dari Himsha (Aleppo) menilainya baik, di mana ia adalah seoran yang telah kita kenal. Bahkan ketika ditanya “apakah orang ini (Abu Maryam) yang telah meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah?” Al-Ijly menjawab: “Benar, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Asakir.”


 Catatan: Di dalam teks Sunan Abi-Dawud yang ditashih (dikoreksi) oleh Syaikh Muhyiddin Abdulhamid, terdapat tulisan Ibnu Abu Maryam, yang benar adalah Abu Maryam.


 


اِتَّقُ اﷲَ هٰذِهِ اْلبَهَا ءٍم اْلمُعْجَمَةِ ، فَارْكَبُوْهَا صَالِحَةً ، وَكُلُوْ هَأ صَالِحَةُ



”Takutlah kepada Allah dalam (memelihara) binatang-binatang yang tak dapat bicara ini, Tunggangilah mereka dengan baik dan berilah makanan dengan baik pula.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (nomor : 2448) dari jalur Muhammad bin Muhajir dari Rabi’ah bin Zaid dari Abu Kabsyah As-Saluli dari Sahal bin Handzalah yang meriwayatkan:


 “Rasulullah e melewati seeokor onta yang punggungnya telah bertemu dengan perutnya (sangat kurus), lalu beliau bersabda: (Perawi menyebutkan kalimat seperti hadits di atas). Hadits ini sanadnya shahih, sebagaimana dikatakan Imam Nawawi dalam Ar-Riyadh dan dalam hal ini dipakai pula oleh Al-Manawi.”


 Sanad itu diperkuat pula oleh Abdurrahman bin Yazid bin Jabir dengan pernyataannya: “Saya diberi hadits oleh Rabi’ah bin Yazid, yang isinya sama dengan hadits di atas namun redaksinya lebih sempurna, yaitu:


 “Rasulullah shollahu alaihi wassalam keluar untuk memenuhi suatu keperluan. Kemudian melihat seekor onta yang diderumkan di depan pintu masjid sejak siang hari. Namun sore harinya beliau melihatnya masih dalam keadaan yang sama. Melihat keadaan ini, beliau bertanya: “Dimanakah pemiliki onta ini? Cari dia!” Ternyata tidak ada, lalu beliau bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah dalam (memelihara) binatang ini. Tunggangilah dalam keadaan baik dan dalam keadaan gemuk.” Saat itu beliau seperti baru saja marah.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (844), Imam Ahmad (4/180-181), dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Bukhari.


 Catatan: lafal كُلُوْهَا diberi harakat dhammah,َ dari kata dasar Al-aklu (اْلاَكْلُ) dan inilah kata yang dipakai oleh Al-Manawi. Jika memang benar riwayat dari Nabi e sperti itu, maka tidak ada masalah. Jika tidak, maka kalimat yang lebih sesuai dengan rangkaian sebelumnya adalah كَلُوْهَا (kiluuha) dengan membaca kashrah kaf­nya, dari kata dasar وَكَلَ yang bentuk mudhari’-nya adalah يَكِلُ (yakilu) dan bentuk amar-nya (bentuk perintahnya) adalah (kil) كِلْ artinya (tinggalkanlah binatang itu). Hal ini diperkuat oleh hadits sebelumnya (lihat nomor 22).


 Kata اْلمُعَجْمَةُ (al-mu’ajimah) berarti binatang yang tidak bisa berbicara, sehingga tidak bisa melaporkan rasa lapar dan dahaganya kepada pemiliknya. Asal kata al-a’jam berarti orang yang tidak fasih berbicara dalam bahasa Arab, atau setidaknya kurang baik kefasihannya, baik orang Arab sendiri atau orang non Arab. Orang itu disebut demikian karena kegagapan lidahnya untuk melafalkan kata-kata Arab.



   اَفَلاَ قَبِلَ هذَا ؟ اَتُرِيْدُ اَنْ تُمِيْتَهَا مَوْتَتَيْنِ ؟


“Mengapa tidak engkau lakukan sebelumnya? Apakah engaku ingin membunuhnya dua kali?”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir (3/40/1), Al-Ausath (1/31/1), dan Al-Baihaqi (9/280), dari Yusuf bin Addi dari Abdurrahamn bin Sulaiman Ar-Razi dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang menuturkan:


 ”Rasulullah shollahu alaihi wassalam mendapati seorang laki-laki yang meletakkan kakinya di atas pantat seekor kambing sambil mengasah alat sembelihannya. Kambing itu meliriknya. Lalu Nabi bersabda: (beliau bersabda seperti hadits di atas).”


 Dalam hal ini Imam Ath-Thabrani berkata: “Yang menyambung hadits ini sampai kepada Nabi e dengan sanad ini hanya Abdurrahman bin Sulaiman. Sedangkan Yusuf meriwayatkannya dengan cara mumfarrid (menyendiri).


 Sementara bila saya amati, keduanya adalah perawri yang tsiqah dan temasuk perawi yang dipakai oleh Imam Bukhari (Rijalul Bukhari). Begitu pula dengan perawi lainnya. Dengan demikian hadits ini statusnya shaihul isnad (shahih dipandang dari segi sanad). Sedang Al-Haitsami (5/33) juga menyatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani di dalam kitabnya Al-Kabir dan Al-Ausath. Perawi-perawinya adalah shahih.”


 Di dalam penegatifan (penghilangan) terhadap perwai-perawi hadits tersebut jelas memerlukan penilaian tersendiri, sebab Imam Hakim (4/231-233) dari jalur (jalur di sini maksudnya rangkaian perawi-perawi hadits) Abdurrahman bin Mubarak dari Hammad bin Zaid, dari ‘Ashim dengan redaksi:


 “Apakah engkau telah membunuhnya beberapa kali? Hendaknya engkau sudah menajamkan alat sembelihanmu sebelum engkau menidurkannya.”


 Hakim menjelaskan: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Bukhari.” Sementara Adz-Dzahabi juga sependapat dengannya. Di tempat lain ia mengatakan: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim.”


   مِنْ فَجَّعَ هٰذِهِ بِوَلَدِهَا ؟ رُدُّوْا وَلَدَهَااِلَيْهَا


Siapa yang mengejutkan burung ini dengan mengambil anaknya? Kembalikanlah anaknya kepadanya.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Al-Adabul Mufarrad (Hadits nomor 382), Abu Dawud (hadits nomor: 2675), dan Al-Hakim (4/239), dari Abdurrahman bin Abdillah dari ayahnya, yang menceritakan:


 “Kami menyertai Rasulullah e dalam suatu perlawatannya. Kemudian beliau pergi untuk memenuhi suatu kebutuhannaya. Lalu kami melihat seekor burung berwarna merah dengan dua ekor anaknya. Kami lalu mengambil kedua anaknya itu. Tatkala induknya dating dia mengepak-ngepakkan sayapnya dan terbang menurun ke dataran menyiratkan kegelisahan dan kekecewaan. Ketika Nabi e dating, beliau bersabda: (kemudian perawi menyebutkan sabdanya seperti tersebut di atas).”


 Redaksi hadits di atas adalah milik Abu Dawud. Ia menambahkan kalimat:


“Beliau juga melihat perkampungan semut yang telah kami baker. Beliau bersabda: “Siapa yang telah membakar tempat ini?” Kami menjawab: “Kamilah yang telah membakarnya.” Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnaya tidak ada yang pantas menyiksa dengan api kecuali Tuhan yang memiliki api.”


 Sanad hadits ini adalah shahih. Sementara Imam Al-Hakim berkomentar: “Hadits ini sanadnya shahih.” Demikian pula yang dikemukakan oleh Adz-Dzahabi. Selanjutnya nanti akan kami sertakan beberapa hadits penguatnya (481-482).


    وَالشَّاةُ اِنْ رَحِمْتَهَا رَحِمَكَ اﷲُ


 “(Walau hanya) seekor kambing, (tetapi) jika kamu menyayanginya maka Allah akan menyayangimu.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufarrad (hadits nomor: 373), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghir (hal. 60) dan Al-Ausath(Juz 1/121/1) dari tambahan yang diberikannya. Ibnu Addi di dalam Al-Kamil (nomor: 259/2), Abu Na’im di dalam Al-Hilyah (2/302, 6/343), Ibnu ‘Asakir (6/257/1) dari beberapa jalur yang berasal dari Mu’awiyah bin Qurrab dari ayahnya yang meriwayatkan:


 “Seseorang berkata: “Wahai Rasul, kami telah menyembelih seekor kambing, tetapi kami melakukannya dengan penuh kasih sayang. Lalu beliau bersabda: (rawi menyebutkan sabdanya di atas).”


Dalam matan tersebut Imam Bukhari menambahkan مَرَّتَيْنِ dua kali.


 Sanad hadits ini shahih. Al-Haitsami di dalam Al-Mujma’(4/33) berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir dan Ash-Shaghir. Ia mempunyai beberapa redaksi, sementara perawi-perawinya berstatus tsiqah.”


   مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةَ عُصْفُوْرٍ رَحِمَهُ اﷲُُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ  


“Orang yang mau menyayangi binatang sembelihannya, walau hanya seekor burung, maka Allah akan memberikan rahmat kepadanya kelak di hari kiamat.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufarrad (nomor: 371) dan Tamam di dalam Al-Fawa’id (nomor: 139/1) dari Al-Qasim bin Abdurrahman dari Abu Umamah secara marfu’


 Saya berpendapat sanad hadits ini hasan. Al-Haitsami (4/33) berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir , dan perawi-perawinya tsiqah. Adh-Dhiya Al-Maqdisi meriwayatkannya di dalam Al-Mukhtarah seperti yang diriwayatkan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Jami’ush-Shaghir.


 عُذِبَتِ امْرَاَةٌ فِى هِرَّةٍ سَجَنَْتْهََا حَتّٰى مَا تَتْ ، فَدَخَلَتْ فَيْهَاالنَّارَ ، لاَهِىَ اَطْعَمَتْهَا اِذْحَبِسَتْهَا وَلاَهِىَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ اْلاَرْضِ


 “Ada seorang wanita yang disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya sampai mati. Hanya karena kucing itu ia masuk neraka. Sebab tatkala ia mengurunya, ia tidak memberinya makan dan minum. Ia juga tidak mau melepaskannya untuk mencari makanan dari serangga dan tumbuh-tumbjuhan.”



Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahih-nya (2/78 cet. Eropa) dan di dalam Al-Adabul Al-Mufarrad (hadits nomor: 379), Imam Muslim (7/43), dari hadits Nafi’ dari Abdullah Ibnu Umar secara marfu’. Di samping itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad (2/507) dari beberapa jalur, semuanya berasal dari Abu Hurairah secara marfu’ pula.



بَيْنَنَ رَجُلٌ يَمْشِىْ بِطَرِيْقٍ ، اِذِاشْتَدَّتْ عَلَيْهِ الْعَطْشُ فَوَجَدّ بِءْرًافَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ ، وًخَرَجَ ، فَاِذً كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرٰا مِنَ الْعَطْشِ ، فَقَالَ الرَّجُلُ : لَقَدْ بَلَغَ هٰذَالْكَلْبُ مِنَ الْعَطْشِ مِثْلَ الَّذِىْ بَلَغَ مِِنِّى ، فَنَزَلَ الْبِٴْرَ فَمَلاَٴَخُفَّهُ ثُمَّ اَمْسَكَهُ بِِفِيْهِ حَتّٰى رَقَىَ فَسَقَى الْكَلْْبَ ، فَشَكَرَ اﷲَ لَهُ ، فَغَفَرَلَهُ ، فَقَالُوْا :,, يَا رَسُوْلَ اﷲِ وَاِنَّ لَنَا فِى الْبَهَا ءِمِ َلاَجْرًا ؟ ,, فَقَالَ : ,, فِىْ كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رُطْبَةٍ اَجْرٌ ,,



“Konon ada seorang laki-laki yang melintasi jalan. Tiba-tiba ia merasa sangat haus, lalu menemukan sebuah sumur. Ia menuruninya untuk (mengambil air) minum. Selesai minum, ia keluar. Tatkala ia telah keluar ia menjumpai seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya sambil mencium tanah karena kehausan. Orang itu bergumam dalam hati: “Kasihan, anjing ini benar-benar kehausan, seperti yang baru saja menimpadiriku.” Kemudian ia kembali menuruni sumur itu dan mengisi penuh sepatunya dengan air. Ia gigit sepatu itu hingga sampai lagi di tempat anjing berada. Lalu ia meminumkannya kepada anjing itu. Allah SWT mengucapkan terima kasih kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kami akan memperoleh pahala karena menolong binatang?” Beliau menjawab: “Setiap binatang yang mempunyai jantung basah (hidup) akan mendatangkan pahala.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam Al-Muwaththa’ (hal 929-930). Imam Bukhari juga meirwayatkan hadits itu darinya di dalam kitab Shahih-nya (2/77-78,103, 4/117 cet. Eropa) dan di dalam Al-Adab Al-Mufarrad (hadits nomor: 378), Muslim (7/44), Abu Dawud (hadits nomor: 2550), dan Imam Ahmad (2/375-517). Semuanya dari Imam Malik dari Suma, seorang budak yang dimerdekakan oleh Abubakar, dari Abu Shaleh As-Siman dari Abu Hurairah secara marfu’.


 Sementara itu Imam Ahmad (2/521) juga meriwataykannya dari jalur yang lain, yaitu dari Abu Shaleh dengan redaksi yang sama, namun disertai   beberapa pengurangan.


   بَيْنَمَاكَلْبٌ يَطِيْفُ بِرَكِيَّةٍ قَدْكَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطْشُ اِذْ رَاَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِىْ اِسْرَاءِيْلَ فَنَزَغ عَتْ مُوْقَهَا ، فَاسْتَقَتْ لَهُ بِه فَسَقَتْهُ اِيَّاهُ ، فَغَفَرَ لَهَا بِهِ


 “Konon ada seekor anjing yang berputar-putar di sekeliling sebuah sumur yang hamper mati karena kehausan, tiba-tiba seorang wanita tuna susila dari Bani Israel melihatnya, lalu ia melepaskan sepatunya untuk mengambil air yang kemudian diminumkannya kepada anjing tersebut. Karena amalannya itulah kemudian Allah SWT berkenan mengampuninya.”


 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (2/376 cet. Eropa), Muslim (7/45) dan Ahmad (2/507), dari hadits Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah secara marfu’.


 Sementara itu Imam Anas bin Sirin juga meriwayatkan hadits yang senada dari Abu Hurairah.


 Imam Ahmad (2/501) juga meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.


 Kata ar-rakiyyah berarti sebuah sumur yang belum atau sudah diberi bebatuan.

0 Response to "MENYAYANGI BINATANG"

Post a Comment